Jumat, 08 November 2013

Es Klining

Grafis: Imam ES

Es klining atau es batu orang kebanyakan menyebutnya demikian, dimasa tahun 80-an es semacam itu adalah sangat lazim dan merakyat bagi kalangan kebiasaan di kampung. Warnanya, merah, kuning, putih dan hijau adalah warna dasar dari lemon sirup yang dibekukan dalam kantong plastik yang memanjang dan di ujungnya diikat dengan karet plastik.

Dalam menjajagannya es itu ditaruh di dalam teremos es yang bentuknya sangat sederhana yaitu seperti teremos air panas pada umumnya, hanya teremos es ini lebih lebar dan tinggi dengan tutupnya dari kayu bulat dan sedikit diganjal kain atau plastik.

Dan bunyi khas jinggelnya adalah menggunakan tutup bel bekas sepeda ontel yang disambung dengan kayu sebagai pegangan dan di dalamnya diikat sebuah cincin atau mur bekas dengan tali kain atau plastic, maka ketika di goyang maka bunyilah klining-klinig. Seperti bel sepeda ontel

------------------------------
Grafis: Imam ES

Sebelum berangkat sekolah, tugas awal yang sudah menyapa tiap hari adalah mengambil teremos es di tempat juragan es. Pagi masih mengembun, langkah kaki mungil itu terus menembus rumput basah diantara kakinya.

Tanganya sesekali menyapa daun-daun teh-tehan dipinggir jalan, dingin dan menyekan jemarinya. Sesekali ia menerobos jalan untuk mempercepat langkahnya, badan masih belum segar karena belum diguyur jernihnya air sumur dirumahnya. Dalam benaknya hanya terpikirkan untuk bisa sampai dan menjual esnya dengan sukses.

Ditaruhlah teremos es itu di ujung sudut ruangan yang biasa untuk berjualan, ia lantas masuk dan membuka bajunya untuk mandi dan siap-siap kesekolah. Tidak jauh memang tempat ia bersekolah, hanya berjarak satu rumah didepannya.

Kini ia asik dengan tugas keduannya yaitu belajar dan mengerjakan tugas sekolah, bajunya yang sangat rapih adalah setrikaan ibundanya yang rajin dengan gosokan arangnya. Bunyi lonceng pertanda istirahat telah berbunyi, semburat anak-anak meluncur dari ruang kelas masing-masing.

Tampak anak lelaki berbadan kecil menghentikan langkah larinya dari ruang kelas, ia melihat teremos yang ia letakan di warung tadi, ia melihatnya dengan girang sebab banyak yang membelinya. Sampai jam sekolah usai, ia langsung mengambil teremos itu dan ternyata masih tersisa separuh lebih sedikit. Mukanya tidak lagi gembira seperti jam istirahat tadi, kini ia mengambil teremosnya dan membawanya pulang.

Setelah berganti baju dan makan siang, ia kembali mengambil teremos itu dan menjajakannya keliling kampong, ia duduk dan melihat teman-teman sebayanya bermain asik di pekarangan. Ia hanya sesekali tersenyum sambil menggoyang-ngoyangkan bel  ditangannya sebagai tanda ia menjajagan es kliningnya.

Setengah jam telah berlalu belum Nampak juga yang membelinya, maka iapun beranjak pergi menuju tempat lain. Dipinggiran sungai ia kembali duduk menunggu orang-orang mancing yang mungkin akan membelinya, namun rejekinya belum datang juga, sampailah waktu menuju sore, esnya masih seperti semuala.

Ia tidak berani pulang sebelum esnya habis terjual, sambil menuju tempat lain ia membunyikan belnya lebih keras dan memberanikan diri untuk bersuara dengan lantang. “Es…es…es….hanya suara burung dan desahan angin yang membalasnya, suasana hari itu terasa sepi dan berat.

Sampailah ia pada akhir kekuatannya, waktu menunjukan setengah empat sore, ia dengan langkah lemas menuju rumahnya untuk membasuh muka dan meminum seteguk air putih dan menggigitnya gula merah didapur sebagai teman manis dimulutnya.

Kini ia keluar lagi untuk menghantarkan esnya pada yang punya/juragan. Dengan harapan yang menipis ia hanya mengantongi uang Rp. 3 (tiga). Karena hanya terjual 30 buah dalam setiap 10 buahnya ia dapat 1 keuntungan.

Grafis: Imam ES


Pagi berikutnya tidaklah berbeda, ia tetap rajin mengambil es untuk dijual. Hari ini sepertinya penuh harap es yang dijualnya akan habis, sebab dikampunya ada hajatan hiburan tujuhbelas agustusan”. Ramai dan bernuansa pasar malam.

Situasinya berbeda dengan hari-hari biasanya, kini dengan senyum lebarnya ia berjalan menngelilingi arena perlombaan berbarengan dengan penjual es lainya yang lebih menarik, yaitu es gosrok dengan taburan limun warna merah di atasnya dan es goyang.

Ia memperhatikan dengan penuh dugaan bahwa esnya jadi tidak laku dan kembali tidak dapat uang. Ternyata, suasana perlombaan di acara Agustusan tidak sesuai harapannya, namun sedikit lebih baik dibandingkan dengan tidak ada perhelatan yang hanya digelar 1 tahun sekali itu.

Ia kembali optimis menjajakan esnya yang masih tersisa sepuluh buah, masih ada satu keuntungan lagi jika semua habis. Sejalan dengan usainya acara dan sepinya penonton, sepipula orang-orang yang berada dilapangan, lantas ia ikut bergegas pula kembali untuk menghantarkan sisa es yang belum terjual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita adalah Fakta

  Supriyono Purbalingga PAI KUA Kalimanah saat sedang mengambil gambar salah satu pelayanan oleh PAI Bidang Wakaf di KUA Kalimanah Purbaling...