|
Pengajian rutin Remaja Masjid di masjid Baitul Muttaqien (Foto: Imam ES) |
Masjid dan Mushala Kebanggaanku
(sebuah catatan kecil)
Secara dhohiriyah kita bisa
melihat sejumlah bangunan tempat ibadah kaum muslim di desa kita (Desa Penaruban) sebanyak 14
Masjid/mushala dengan status yang berbeda dalam penyebutan dan fungsinya
(sholat Jum’at).
Satu bangunan berdiri dengan nama dan fungsi Masjid dan dua berdiri
dengan fungsi mushala. Kemudian berkembang menjadi Masjid, selebihnya 11 lagi
masih berfungsi sebagai Mushala dan merata di setiap dusun/dukuh.
Dari sudut sejarah kami tidak
tahu pasti kapan Islam mulai masuk dan siapa/tokoh yang membawa Islam ke kampung
kita hingga munculah surau atau langgar.
Kita mafhum bahwa berdirinya
mushala-mushala di sekitar kita adalah bukti telah tumbuhnya kesadaran dan
kemauan warga dalam memenuhi sarana/tempat beribadah dilingkungannya, terlepas
dari maksimal atau belum mushala itu sebagai pusat kegiatan hal ini kita bahas
selanjutnya.
Beridirinya sebuah bangunan tempat ibadah adalah lahirnya
kesadaran rohani secara kumulatif. Kesadaran itu mengalir dan mengumpul menjadi
kesadaran sosial yang selanjutnya menjadi peluru yang melesat kuat dengan
lahirnya kesadara-kesadaran baru.
Kesadaran baru itu, seperti infaq, sodaqoh, zakat serta kesadaran
untuk bergotong royong secara fisik demi berdirinya cita-cita yang agung untuk
memiliki sebuah bangunan untuk bersujud yaitu rumah Allah, mushala, langgar.
Atau surau.
Aspek inilah yang menurut hemat
kami sangat menarik dan perlu di gali apa sebenarnya hikmah di balik
semangatnya mendirikan tempat ibadah itu. Sebab dari ke 14 belas bangunan itu
bila ditelusuri dari sudut perkembangan kesadaran untuk mendirikannya, tokoh
penggeraknya, sumber dananya, kegotong royongannya dan lain sebagainya bisa
kita sebutkan bahwa kesemuanya itu ada persamaan dan perbedaan dalam berproses mewujudkan sebuah
mushala/masjid.
|
Pengajian rutin Remaja Masjid di mushala al Haq Dusun 1 Penaruban (Foto: Imam ES) |
Kesamaanya adalah bahwa, pertama
kesadaran itu timbul karena proses silaturahmi dan dialogh antar tokoh
masyarakat yang kemudian melebar kewarga, Kedua adanya faktor prestise
sosial ketika bisa membuktikan berdirinya sebuah bangunan mushala
dilingkungannya, sebut saja adanya rasa kebanggaan dan bukti kemampuan sosial.
Lalu ketiga adalah adanya keyakinan yang lazim di masyarakat bahwa membangun tempat
ibadah tidak ada istilah tidak rampung atau selesai “ Pasti rampung”. Inilah
yang menurut kami tiga hal alasan mendasar semangat di masyarakat dalam hal
itu.
Kemudian apa yang menyebabkan timbulnya perbedaan dalam “berproses”
mendirikan bangunan masjid/mushala itu?. Yang pertama adalah faktor kemampuan
memobilisasi masyarakat pada tataran sosialisasi pentingnya sarana ibadah. Hal
ini terbukti bahwa ke 14 bangunan itu tidak ada yang berdiri dalam waktu yang
hampir bersamaan.
Kemudian yang kedua adalah faktor pertama tersebut berpengaruh pada
kemampuan secara finansial/pendanaan. Sebab mendirikan sebuah bangunan
sekalipun dulu belum menggunakan batu bata, semen dan sebagainya, tetapi bangunan
yang terstruktur dari bambu dan kayu tidak terlepas dari besarnya dana yang di
butuhkan waktu itu.
Dan ketiga adalah belum seragamnya kemampuan secara keilmuan, spiritual dan tanggung jawab dalam pengelolaan memakmurkan masjid/mushala,
seperti Susunan Takmir, imam, muadzin, pengurus rumah tangga hingga pengelolaan
zakat, infak, wakaf, sodaqoh serta tanggung jawab memakmurkan jama’ahnya/warga
sekitarnya.
Saat bangunan sudah berdiri, selanjutnya adalah apa yang harus dilakukan dengan bangunan itu?. Maka baiknya
kita mengetahui dan faham akan fungsi dan manfaat bangunan sarana ibadah
tersebut ( hal ini akan di bahas pada tema khusus ).
Dan hal ini akan kembali
kepada masyarakat itu sendiri, Sesungguhnya jika masyarakat sudah mampu
mendirikan bangunan ibadah secara fisik maka pertanyaan bagaimana pengelolaannya tidak perlu terlontar.
Sebab idealnya keberanian mendirikan bangunan secara
fisik tentunya telah siap pula kesiapan secara mental, keilmuan dan rohaninya,
Tapi tidaklah mengapa jika pertanyaan itu muncul sebab dari sinilah sebenarnya
kami berani menulis “SEBERAPA JAUH PENGARUH MASJID/MUSHALA PADA PEMBANGUNAN MASYARAKAT ATAU LINGKUNGANNYA”,
Jadi sangat wajar jika pertanyaan itu muncul dan ini akan
selalu menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat,
Pertanyaanya, pertanyaan tersebut
ditujukan kepada siapa dan mengapa harus bertanya? Menjawab soal tersebut tidak
mungkin hal itu dilakukan secara bebas. Tapi pastinya kepada yang mewakili
menjadi pengurus atau takmirnya.
Sangatlah tidak mungkin jika bangunan telah
berdiri tapi tidak ada takmir dan tidak ada aktifitasnya. Pengurus
masjid/mushala adalah manifestasi dari tanggungjawab rohani dan sosial. Agar
aktifitas peribadahan dan sebagainya bisa tertata/termanajemen dengan baik.
Dan sangat disayangkan jika sebuah bangunan berdiri tidak ada pengurusnya. Namun bisa
saja hal ini terjadi karena kemampuan memiliki sarana ibadah baru sebatas mampu
membangun tempat ibadah tapi belum memiliki kemampuan/ilmu pengelolaannya.
Menurut hemat kami inilah yang
sangat menarik. Sebab bicara soal kemampuan keilmuan dalam mengelola
masjid/mushala adalah bisa menjadi bukti berjalannya aktifitas peribadahan
ritual/sholat berjamaah dan pengorganisasian aktifitas jama’ah atau warga sekitarnya.
Dan inipun tidak berhenti pada persoalan adanya aktifitas yang berjalan di
masjid/mushala tersebut atau kasarnya bisa disebut “asal jalan”. Aktifitas
masjid itu harus mampu berdimensi uluhiyyah/rubbubiyah dan
insaniyah/kemanusiaan,
Jadi jika tempat ibadah itu dimanfaatkan sebatas untuk
sholat berjama’ah saja apa lagi tidak genap 5 waktu, maka bisa dipastikan tempat
masjid/mushala itu gagal dalam membina jama’ahnya dan berpotensi tidak banyak
pengaruhnya dalam membina rohani, kecerdasan, keilmuan, serta kesejahteraan
lingkungannya.
Jadi idealnya masjid harus mampu
memiliki minimal :
- Takmir/Susunan Pengurus
- Agenda kegiatan
- Peta Dakwah
- Badan otonom Pengelolaan Zakat, Infaq, Sodaqoh,
Wakaf dll.
Jika kita amati secara umum di
lingkungan kita bagaimana masjid/mushal-mushala itu di kelola dari fisik
bangunan dan isi kegiatan rohani dan sosialnya.? Andalah yang bisa
menemukan jawabanya. Sebab anda ikut bertanggungjawab dalam pengelolaanya
minimal secara moral.
Sukur secara fisik juga terlibat, sebab hal ini akan
berpengaruh dan berlanjut pada keberlangsungan tongkat estafet secara
keseluruhan dari bangunan masjid/mushala itu dan tanggungjwabanya pada generasi
berikutnya.
Berjalanya pergantian
tanggungjawab memakmurkan/pengelolaan masjid/mushala tidak bisa dianggap remeh
apalagi menganggap tidak penting, keberlangsungan pergantian tanggungjawab ini
adalah bagian dari sunatullah/hukum alam yang pasti terjadi.
Dan idealnya tidak
mungkin berjalan secara alamiah, sebab transformasi ilmu dan peranan ini tidak
akan lahir bak jamur di musim hujan. Tapi semua itu harus direncanakan,
disosialisasikan, disiapkan, disaranakan dan seterusnya sampai proses
pendewasaan.
Dan selanjutnya kemampuan memahami peranya sebagai bagian dari jama’ah
masjid/mushala berkembang menjadi tanggungjawab meneruskan tongkat estafet
kepengurusan dalam memakmurkan masjid/mushalanya.
Jadi apa sebenarnya manfaat yang
harus ditimbulkan oleh masjid/mushala pada jama’ah atau masyarakat sekitarnya?
Dalam catatan sejarah dimana Nabi Muhammad saw kali pertama sebelum membangun
masjid, Rasulullah SAW membangun terlebih dahulu
bangunan keilmuan secara komprehensif/menyeluruh kepada para sahabatnya dalam
bebagai ilmu.
Hal ini sangat penting sebagai dasar/pondasi atas bangunan yang
secara fisik nantinya akan di bangun kali pertama. Seperti
kita pahami bahwa sejak zaman Rasulullah Muhamad SAW, masjid bukan hanya tempat
ibadah tetapi merupakan pusat kegiatan berdimensi luas.
Ketika Rasulullah Saw
dan para sahabatnya Hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau singgah di suatu
tempat yang dikenal dengan Quba. Disinilah Rasulullah membangun sebuah Masjid
yang diberi nama Masjid Quba. Begitu juga ketika sampai di Madinah Rasulullah
membangun Masjid Nabawi. Ini semua menunjukan bahwa Masjid memiki kedudukan
yang sangat penting bagi kaum muslimin.
Di zaman Rasulullah Saw, Masjid menjadi sarana untuk
memperkokoh iman para sahabatnya. Disamping itu, Masjid juga digunakan sebagai
sarana peribadatan dan tempat mengkaji ajaran Islam. Allah berfirman :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ
اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا الله َ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ
الْمُهْتَدِينَ .
Hanyalah yang memakmurkan Masjid-Masjid Allah adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah, dan Hari Kemudian, serta tetap
mendirikan Shalat, menunaikan Zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain
kepada Allah maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS:
At-Taubah: 18).
Rasulullah saw menjadikan Masjid sebagai sentral ilmu
pengetahuan. Dari Masjidlah Rasulullah membina masyarakat baru Madinah. Ahlu
Suffah adalah mereka yang banyak mengambil manfaat dari ajaran Rasulullah.
Disamping mereka tinggal dibagian belakang masjid mereka juga sangat tekun
menghafal hadist-hadist Rasullah Saw. Abu Hurairah adalah salah seorang dari
ratusan Ahli Shuffah yang banyak meriwayat hadis dibandingkan sahabat lainya.
Tradisi menjadikan Masjid sebagai pusat ilmu pengetahuan ini diteruskan oleh
para Ulama Muslimin dalam mengembangkan Risalah Islam setelah wafatnya
Rasulullah Saw. Dan bagaimana dengan masjid/mushala dilingkungan kita, apakah
demikian?
Di era modern sekarang ini kita harus mampu memerankan dan
memakmurkan Masjid. Memakmurkan Masjid mempunyai dua pengertian. Hissi dan
maknawi. Hissi berarti membangun Masjid secara fisik, membersihkanya,
melengkapi sarana wudhuk dan yang lainya.
Sedangkan memakmurkan Masjid secara
Maknawi adalah meramaikan Masjid dengan shalat berjama`ah, membaca al-quran,
i`tikaf, dan ibadah lainya.
Dan yang tidak kalah penting adalah menjadikan Masjid
sebagai pusat kegiatan dan pengembangan masyarakat. Dan disamping
itu kita harus bisa memposisikan Masjid sebagai wadah pemersatu kaum muslimin.
Menghidupkan kembali peranan Masjid dengan segala macam aktivitas yang telah
kita paparkan diatas yang telah terbukti membawa kaum muslim pada puncak
peradaban besar.
Firman Allah SWT
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan”. (QS. AI Baqarah : 245)
Sabda
Rasulullah Muhammad SAW
“Barang siapa yang
telah membangunkan sebuah masjid, yang sengaja mencari keridhaan Allah, nanti
Allah buatkan pula untuknya sebuah rumah di dalam syurga”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Demikian, yang menurut hemat kami bisa menjadi catatan
penting untuk menggugah hati kita, utamanya hati dan semangat kami pribadi
sebagai penyusun tulisan ini, semoga Allah melimpahkan Rahmta, Hidayah serta
Taufiqnya kepada kita dan selebihnya Wallahu’alam bi showab. (ies)